Jenewa, 18 Juli 2025 — Isu masyarakat Same-Bajau (Bajo) di Indonesia untuk pertama kalinya bergema di forum internasional tingkat tinggi. François-Robert Zacot, antropolog dan etnolog asal Prancis yang juga merupakan Anggota Majelis Dewan Pemikir (MDP) POSBI Luar Negeri, menyampaikan ucapan terima kasih kepada POSBI karena telah memberikan dukungan moral dan kelembagaan melalui surat resmi Dewan Pimpinan Pusat yang ditandatangani Ketua Umum POSBI Erni Bajau, dan Sekretaris Jenderal, Sunirco.
Zacot dikenal aktif dalam penelitian budaya dan identitas masyarakat laut Same-Bajau menyampaikan bahwa dirinya hampir tidak mendapatkan kesempatan berbicara karena banyaknya peserta yang mendaftar untuk menyampaikan pendapat di forum tersebut. “Saya dijadwalkan berbicara pada hari Selasa, 15 Juli, tetapi nama saya tidak dipanggil. Namun, saya terus meyakinkan pihak penyelenggara akan pentingnya isu ini,” tutur Zacot. Usahanya membuahkan hasil. Pada hari Kamis 17 Juli 2025, ia akhirnya diberi kesempatan untuk berbicara di hadapan forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam forum tersebut, Zacot menyampaikan kondisi nyata masyarakat Bajau: diskriminasi yang masih terjadi, akses terbatas terhadap layanan dasar seperti pendidikan, upaya penggusuran, hingga keterbatasan infrastruktur dan peluang hidup layak. Ia juga memperkenalkan POSBI sebagai organisasi nasional yang memperjuangkan hak, budaya, dan eksistensi masyarakat Bajau.
“Sekarang PBB tahu bahwa ada organisasi bernama POSBI, dan bahwa masyarakat Bajo di Indonesia menghadapi berbagai bentuk diskriminasi dan kesulitan struktural,” ujar Zacot.
Momen penting ini menjadi tonggak perjuangan dalam dua tingkatan:
- Perjuangan tingkat nasional, yang terus diupayakan oleh POSBI melalui advokasi, pemberdayaan, dan pendidikan komunitas Same-Bajau di Indonesia.
- Perjuangan tingkat internasional, yang kini mulai digerakkan melalui representasi Sir Zacot di berbagai forum global.
POSBI dan Sir Zacot kini memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang langkah-langkah strategis ke depan, termasuk membangun kerja sama internasional, memperkuat jaringan akademik dan hak asasi manusia, serta mendorong pengakuan lebih luas terhadap masyarakat Same-Bajau di dunia internasional.
POSBI menyambut baik perkembangan ini sebagai langkah awal menuju advokasi yang lebih terstruktur dan berkelanjutan di tingkat global. POSBI juga mengapresiasi komitmen Sir François-Robert Zacot yang tak hanya sebagai peneliti, namun juga sebagai bagian dari perjuangan POSBI dalam memperjuangkan eksistensi dan martabat masyarakat Same-Bajau.
Berikut kutipan materi yang disuarakan di Forum Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) di Jenewa.
Kontribusi untuk
Sesi ke-18 Mekanisme Ahli – Palais des Nations – GENEVA – 14-18 Juli 2025
Refleksi tentang Identitas dan Tantangan Masyarakat Bajo: Sebuah Pendekatan yang Menghormati Kedaulatan Budaya Mereka
Oleh
FRANCOIS-ROBERT ZACOT
ANTROPOLOG-ETNOLOG
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Presiden dan seluruh anggota EMRIP yang telah menyambut saya dengan baik dalam pertemuan ini. Saya mewakili LSM (NGO)
POSBI dari Indonesia.
Berikut ini adalah beberapa refleksi yang diambil dari penelitian saya selama empat dekade sebagai antropolog mengenai suku Bajau (Bajo), sebuah suku pengembara laut di Asia Tenggara.
Saya ingin secara khusus menekankan bahwa orang Bajo, dengan sejarah, budaya, dan bahasa mereka sendiri, sangat berbeda dengan orang lain, dan juga cara hidup mereka yang luar biasa: hidup berpindah-pindah, dan bagi sebagian kecil dari mereka, dengan sampan.
Suku Bajo tersebar di bagian utara Malaysia, Filipina selatan dan di seluruh Indonesia.
Populasi nomaden selalu menghadapi keharusan untuk menetap. Namun, dalam kasus Bajo, proses ini memiliki makna yang jauh lebih dalam: proses ini mengharuskan mereka untuk meninggalkan kehidupan tradisional mereka di laut dan menetap di daratan. Perubahan ini mempertanyakan dasar- dasar keberadaan mereka.
Tidak seperti masyarakat nomaden lainnya di seluruh dunia (pengembara gurun atau hutan), bagi orang Bajo, perpindahan, gaya hidup menetap berarti beradaptasi dengan elemen baru: “tanah”. Kondisi baru ini sangat tragis.
Penting juga untuk menyoroti tantangan-tantangan lain yang dihadapi oleh masyarakat Bajo: Diskriminasi dan devaluasi: Mereka dianggap oleh penduduk lain sebagai masyarakat yang terbelakang dan tidak berpendidikan.
Beberapa orang Bajo tidak memiliki dokumen identitas, Mereka tidak selalu diajak berkonsultasi terkait keputusan yang diambil.
Relokasi paksa menciptakan krisis identitas dan hilangnya kepercayaan diri di kalangan pemuda, karena dasar-dasar identitas Bajo sangat berbeda dengan identitas Masyarakat Asli lainnya, kita harus mengadopsi pendekatan dan kerangka acuan yang berbeda jika kita ingin memahami pandangan hidup mereka dan mendukung kedaulatan mereka-tanpa mengevaluasi budaya Bajo melalui kacamata kita.
Sangat penting bagi masyarakat Bajo untuk secara aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi wilayah dan masa depan mereka. Partisipasi ini harus didasarkan pada alat, kerangka kerja, dan referensi budaya mereka sendiri.
Ada kebutuhan untuk membangun sebuah observatorium pemantauan untuk memantau perubahan dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Bajo. Observatorium ini harus melibatkan perwakilan dari setiap desa Bajo. Hal ini juga membutuhkan penguatan pengetahuan tradisional dan peningkatan kesadaran akan identitas Bajo. Namun, dialog antara pihak berwenang, manajer program pembangunan, dan masyarakat Bajo mungkin menghadapi hambatan karena kurangnya pemahaman tentang budaya Bajo oleh pihak luar.
Mengapa Bajo? Karena (masyarakat) Bajo adalah satu-satunya yang mampu mengekspresikan hak-hak mereka dan bagaimana mereka ingin melaksanakannya. Karena budaya mereka sangat luar biasa dan syarat-syarat mereka untuk beradaptasi sangat berbeda dengan Masyarakat Asli lainnya.
Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa kita semua adalah keturunan Masyarakat Asli.
Terima kasih atas perhatiannya.























